Selasa, 22 September 2015

Perihal (Tulisan) Tari, Perempuan Pengolah Rasa


Menulis review atau memberi penilaian terhadap tulisan dari orang yang dikenal adalah hal paling saya hindari selama ini. Sejak dulu. Saya selalu saja bingung memberi penilaian terhadap tulisan yang dibuat oleh orang-orang yang telah lama akrab. Ya, saya rasa sebuah penilaian tak akan pernah objektif. Tentu saya akan sangat mudah menggabungkan antara tulisan mereka dengan penilaian terhadap kehidupan personal mereka. Sangat tidak benar, membaurkan apa yang dituliskan dari isi kepala mereka, dengan kehidupan pribadi sang penulis. Ya, itu sebabnya saya berusaha menghindari.

Hanya karena berlindung di balik alasan itu, maka empat minggu masa tugas penulisan review blog dari Kelas Menulis Kepo terabaikan begitu saja. Oh iya, nanti di tulisan yang lain akan saya ceritakan tentang kelas menulis ini. Akan panjang bilang dijelaskan di sini.

Nah, di minggu yang ke lima di tugas penulisan yang diberi nama Batu Sekam (Baku Tulis Senin Kamis) saya mencoba untuk menantang diri sendiri. Menulis review dari tulisan-tulisan seorang Tari Artika Sari di blognya www.tariartika.wordpress.com.

Benar kata para bijak bestari, bahwa segala kesulitan jangan kau hindari, tapi harus dijalani, anggap saja uji nyali. Maka inilah hasil review untuk seorang Tari Artika, si partner ngopi, ngebun, ngemall, ngetrip, teman menulis, membaca, tjurhat, selfie bergembira dan teman tidur. Dia perempuan yang saya labeli sebagai sahabat, saudara atau sebutan apapun untuk dia sang super hero. Ahhh, mungkin kamu menganggapnya lebay, tapi begitulah dia dan adanya, pahlawan, malaikat tak bersayap. Makin berlebihankah saya?

Tapi demi menuliskan reviewnya, maka berpura-puralah saya tak mengenalnya. Ini untuk bersikap adil terhadap tulisannya. Akan menjadi jahat bila mencampurkan kehidupan personalnya dengan tulisannya. Tidak adil untuk sebuah tulisan. Bukan begitu, Tar? Oh iya, saya berpura-pura tak mengenalnya.

Perempuan Extrovert

Pertama, Tari adalah perempuan extrovert. Itu image atau karakter yang saya tangkap dari tulisannya. Dia dengan gagah berani mampu menuliskan perasaan-perasaanya di dalam blognya. Lihat saja tulisan yang diposting pada Mei 2015 lalu di tulisan berjudul “Dia Bernama Kas”, dengan gentle ia mengakui rasanya untuk seorang lelaki di masa lalunya.

ia berkata ingin datang melihat, tentu saja aku senang, meskipun perasaan kepadanya telah hilang, aku masih sering merindukannya. maka malam itu ia datang menungguiku menari, sesekali mengipasi saat aku istirahat, dan mengantarkan aku pulang.

Tapi dari tulisan yang menjadi postingan kedua di blognya itu, akhirnya saya tahu, kalau kisah cintanya harus berujung tragis. Yahh, saya turut berduka lelaki bernama Kas itu telah pergi meninggalkan Tari untuk bertemu Tuhan lebih dulu.

Nah, setelah membaca semua postingan di blognya, akhirnya tidak sulit menemukan pelbagai kesalahan kepenulisan. Akan saya jabarkan.

Huruf Kapital, Spasi, dan Istilah Asing

Di postingan tentang Bulukumba misalnya. Setelah tanda titik tak ada satupun huruf kapital. Untuk penyebutan nama orangpun, sama sekali tak ada kapital. Herannya, justru di tengah-tengah kalimat malah terselip kata yang dimulai dengan huruf kapital. *Ini kamu kenapa sih, Tar?

Keluarga aidil ternyata udah siapin durian buat kami, saya dan temen2 sampai lupa ada kosa kata namanya sopan santun. Kami makan terlalu semangat Kayak orang yang baru tau kalau ada buah namanya durian. Andthansaya mengakui, durian Bulukumba emang beda banget sama durian2 yang dijual di Makassar, selain Karena gratis durian Bulukumba punya rasa yang khas

            Hal berikutnya adalah pemberian spasi untuk tulisan-tulisannya. Di paragraf yang saya kutip dari tulisannya yang berjudul Yuk Jadi Sahabat Pena, misalnya. Dari kesalahan penulisan kata ulang, istilah asing, spasi dan kembali pemberian huruf kapital bisa ditemui di sana. 

Punya sahabat pena juga sangat dianjurkan untuk anda yang merasa jenuh atau mulai jenuh, kesepian, jomblo dan jobless. Pokoknya gak ada yang salah dengan mencoba sesuatu hal yang baru. Andthan khusus untuk kamu seseorang yang butuh teman cerita suka membaca dan share, dan punya banyak keanehan .. mungkin kita bisa jadi sahabat pena, send me email

Begitupun untuk tulisannya yang diposting sekira tiga bulan lalu berjudul ‘Halo Fobiaers.:D’ 

Fobia itu sebenernya terjadi banyak sebabnya.. bisajadi karena tekanan alam bawah sadar, pengalaman buruk yang pernah terjadi sampai fobia karena keturunan. Kompleks yah… kenapa kali ini bahas fobia, iya tari juga punya fobia yang lumayan ganggu dan butuh di share supaya tidak panik hihihi.

Berikutnya, dia juga sedikit bermasalah untuk pemberian imbuhan pada tulisannya, masih dari postingan yang sama, Halo Fobiaers :D.

komunitas ini pelihara macam-macam hewan termasuk ular macam-macam warna dan ukuran yang sudah jinak tentunya.

Keanehan berikutnya adalah apa maksud dari tanda titik berkali-kali? Sepertinya saya harus bertanya secara khusus dengan titik-titik yang disematkan berkali-kali itu gunaya apa ya, dek?

Dulu sempat scroll-scroll salah satu social media, dan tiba-tiba ada gambar ular dan tiba-tiba hapenya saya banting sambil ngomong *>?<>+^&*$#@tiiiiiiiiiiiiitttttt , juga pernah saya datang ke acara khitanan trus ada cewek tomboy yang jalan dengan ular dilehernya , santai banget guys … Cuma masalahnya dia jalan di depan saya dan tuh ular kepalanya mengahadap ke belakang, sumpah saya hampir pingsan dan nimpuk cewek gak jelas ini. Huhuhu.

Saya Bukan Mahasiswa Linguistik

            Sungguh sayang, tulisan-tulisannya harus terganggu oleh hal teknis seperti yang saya utarakan di atas. Menyebalkan rasanya bila sudah larut dalam tulisan tetapi kemudian mata kita mendapati kesalahan sepeti itu. Sungguh sangat menurunkan selera membaca. Itu catatan penting untuk Tari *buat saya juga sih, bagaimanapun tujuan akhir menulis adalah agar tulisanmu dibaca. Jangan membuat pembacamu terganggu oleh hal teknis seperti itu.

Yap, kesalahan seperti itu memang sangat fatal untuk seorang mahasiswa dari jurusan Sastra Indonesia yang sering dianggap paling khatam untuk urusan linguistik, dari perkara tanda baca, imbuhan pemberian spasi dan penulisan istilah asing. *dear Tari, maafkan saya berkali-kali harus mengungkit salahmu. Ah bukannya di sini, di tulisan ini kita tidak saling mengenal.

“Bedakan sastra dengan bahasa nah! Saya memang di Sastra Indonesia, belajar sastra bukan bahasa,” protesnya bila kesalahannya dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai EYD dan KBBI dikait-kaitkan dengan jurusannya.

“Saya belajar karya sastra Indonesia bukan ilmu perbahasa Indonesia-an,” kesalnya. Ya,  melihat tulisan di blognya ya memang keliatan bedanya. 
Kekurangan yang saya temukan berikutnya adalah penulisan caption untuk foto yang digunakannya. Meski sebuah foto mampu menceritakan tentang dirinya sekalipun, tapi mungkin baiknya perlu menambahkan selarik atau dua larik kalimat keterangan di bawahnya.

 “abi tahu kamu marah, berkesahlah Nay. Kamu berhak untuk itu” Abi masih sibuk dengan jala di tangannya. Suara debur ombak terdengar samar-samar dari kejauhan diselingi suara orang bercakap yang terbawa oleh angin. Aku tiba-tiba merasa jengkel, jengkel bercampur sedih yang jika terus kupikirkan akan membuat mataku panas. Dadaku membuncah, aku setengah berlari masuk ke kamar membenamkan wajah di bantal, menangis.
Paragraf di atas saya ambil dari tulisannya berjudul ‘Jangan Pernah Membenci Umik’. Sepertinya kesalahan seorang Tari adalah dia kurang perhatian sebelum menerbitkan tulisannya di blog. Entahlah dia melakukan proses editing atau tidak, hingga kesalahan-kesalahan seperti itu bisa luput dari perhatiannya. Atau memang ia kurang perhatian, atau labil? Halah.

 “umi jahat, Nay benci umi, Nay menyesal dilahirkan sama umi, menyesal dilahirkan di keluarga ini, Nay ben…”

Lihat saja, dengan jelas ia memberi judul Jangan Pernah Membenci Umik untuk tulisannya, tapi di dalam tulisan ia malah menggunakan kata Umi sebagai kata ganti untuk Ibu.

Penggunaan kata ‘sama’ di atas juga cukup mengganggu. Mungkin karena Tari terlalu asik bertutur, sampai tak sadar ia menggunakan diksi kedaerahan. Kan bisa saja, atau lebih baik kalau ia menggantinya dengan kata ‘oleh’. Ya, menurut saya.

Setelah bertanya lebih lanjut tentang kesalahan-kesalahan ini, dia pun mengakuinya. “Iya, dulu saya sangat tidak peduli dengan pengejaan kata, dan apapun untuk teknis penulisan. Setiap selesai menulis langsung posting tanpa edit,” katanya.

Ah, Tari ini memang terlampau apa adanya. Tidakkah dia  memikirkan image sebagai seorang mahasiswa jurusan Sastra Indonesia? Meski sebenarnya saya hafal betul, selalu saja dia merespon sinis tiap dituntut menguasai ilmu tentang menulis dan berbahasa Indoensia yang baik dan benar.

“Tapi setelah bergabung di kelas menulis Kepo, saya lebih perhatianmi dengan tulisanku,” akunya.

Pengakuannya bisa dibuktikan di postingannya yang berjudul Bolehkah Kembali ke Masa Lalu, yang juga menjadi tulisan perdananya setelah bergabung di KM Kepo. Kita tidak akan lagi mendapati huruf pertama dalam kalimat yang tidak menggunakan kapital.

Tapi, saya sedikit penasaran, mengapa dengan tulisan kampung, di dua tulisannya yakni Mabbaca dan Boleh Kembali ke Masa Lalu, dia menulis kata ‘kampung’ dengan huruf kapital. Mungkin saja itu karena dia sangatt sedang rindu dengan kampungnya saat menulis postingan itu.

Tapi dia mesti perhatian. Lumayan fatal untuk kata ‘yang’ tapi dia tulis dengan ‘yg’ saja dalam kalimat ‘yg ini bukan sms cinnn’.

Masing-masing kelompok memilih kakak dampingnya sendiri, mereka memilih kakak volunteer yang cantik-cantik. Sebelum memulai games, seorang kakak menjelaskan mekanisme games, peraturan, sekaligus memilih perwakilan setiap lomba. Perwakilan yang dipilih di games pertama berbaris rapi di tempat yang disiapkan - (Merdeka Tanpa Rasa Lapar).

Tulisan di atas, yang merupakan review kegiatan perayaan hariKemerdekaan 17 Agustus kemarin oleh Komunitas Berbagi Nasi, tampak Tari sudah jeli untuk mencetak miring kata-kata asing yang digunakan dalam tulisannya. Bagus, nak.

 Imam masjid yang datang duduk di depan baki merapalkan doa sambil memasukkan kemenyan ke dalam dupa yg telah diisi sedikit bara api. Bau kemenyan akan menyeruak ke seisi rumah, sementara pu’ imam akan memegang baki secara bergantian sebagai tanda ia mendoakan makanan tersebut. (Mabbaca, Tradisi Merapal Doa sebelum Ramadan).

Kalau boleh meminta dia harus menuliskan lanjutan dari tulisan tentang Mabbaca tersebut. Ini karena sebagai pembaca, saya merasa belum terpuaskan. Mesti diakui, dia berbakat untuk menuliskan sejarah sbeuah tradisi.

Terakhir, saya ingin memuji ia yang cukup dewasa untuk beberapa tulisannya. Yahh saya jatuh cinta pada (tulisan) nya, Dear Kamu, Wanita yang Sedang Jatuh Cinta. Ahh perempuan ini yang di tulisannya mengaku sedang jatuh cinta. Tapi faktanya, sudahlah tak baik menceritakan kisahmu di dunia nyata di sini. Itu artinya saya berghibah tentang Tari.

Berikutnya, yang saya sukai dari tulisan Tari adalah dia yang berani menulis kisah fiksi. Mengapa berani? Yak arena bagi saya menulis fiksi adalah kamu harus andal untuk memiliki imaji yang fantastis, mengembangkannya kemudian menerjemahkannya ke sebuah tulisan yang apik. Saya belum mampu untuk itu, tapi lain halnya dengan Tari.

Dari dua tulisan fiksinya, ‘Jangan Membenci Umik’ dan ‘Ibu dan Pohon Halaman Belakang’., sama-sama ia menuliskan tentang Ibu. Bahkan sekarang ini dia mengaku sedang menulis sebuah cerpen yang lagi-lagi tentang Ibu, dan masih lagi-lagi berujung tragis. Sama dengan dua cerpennya tentang Ibu sebelumnya. *ini bukan nge-spoilerkan?

Untuk cerpennya, dia bisa membuatmu terhanyut. Tari bahkan berhasil membuat saya tetiba menjadi sentimentil untuk cerpen Umiknya. Dia bertutur mendekati kata sempurna. Berhasil menjebak saya untuk merasakan melankolik, mengingat Ibu. Termasuk untuk cerpennya yag kedua. Entahlah. Tapi untuk cerpen yang kedua ini diakuinya bahwa tulisan ini terinspirasi dari saya. Nah loh?

Oh iya, sejam sebelum memulai mereview blognya, kami sempat mengobrolkan tentang keluarga, Ini tentang orang-orang, siapa saja dia, apapun agama, pendidikan dan latar belakang, bangsa dan budayanya yang tiap berkisah tentang keluarga mereka akan sangat sentimental, semacam menjadi melankolis tiba-tiba.

“Mengapa ya setiap membicarakan keluarga, kita tiba-tiba menjadi melankolis. Apapun itu, bicara tentang mama, bapak, kakak adik, ujung-ujungnya bakalan bikinki mau menangis?,” tanya saya sore itu setelah bercerita tentang mimpi saya semalam yang bertemu Bapak.

“Setiap orang pasti begitu. Itu artinya peran keluarga sangat penting untuk kita. Tidak bisa diingkari. Mungkin karena tanpa keluarga kita bukan siapa-siapa. Kalau nda ada ibu bapak ta, kita siapa?,” katanya. Jawabannya memang selalu menenangkan. Termasuk tulisan-tulisannya. Dia dengan masa lalunya, pengalaman, rasanya, isi kepala dan imajinya, semua bisa ia olah sedemikian rupa. Berhasil melahirkan tulisan-tulisan sederhana tapi bisa menyentuh dan menyisakan rasa hingga ke sudut terdalam di hati mu. Tulisannya yang crunchy bisa  membuatmu  senyum-senyum sendiri. Ataupun untuk beberapa tulisannya yang sentimentil, akan membuatmu mengharu biru sendiri. Dia adalah perempuan pengolah rasa.

Dan untuk tulisannya yang mereview tulisan atau blog orang lain, saya absen. Tak mungkinlah saya menilai tentang penilaian seseorang terhadap nilai-nilai orang lain. *ahh menulis kalimat tentang nilai, menilai, penilaian saja saya beribet.

Tapi untuk review ini, saya terbuka untuk segala kritik, tanggapan. Apapun namanya. Cimiw. Ditunggu. 
Ini saat bersama Tari ngetripsuka-suka bergembira Agustus lalu.





Kamis, 30 Juli 2015

Damai Dimulai dari Ujung Jarimu!

Sekira April lalu, jagat dunia maya dihebohkan dengan pemblokiran 22 situs oleh Kementerian Informasi dan Komunikasi Indonesia. Situ-situs ini dianggap menyebarkan isu kebencian dan paham radikalisme. Sensitif memang, karena beberapa situs ini dikenal sebagai situs penyebar dakwah salah satu agama di Indonesia.
Meski dijelaskan berkali-kali oleh Rudiantara, Menteri Informasi dan Komunikasi, bahwa alasan penutupan 22 situs yang merupakan rekomendasi dari BNPT ini karena mereka memuat konten negatif dan isu radikalisme. Bukan apa-apa  isu kebencian sangat mudah menyebar di masyarakat, apalagi untuk karakter masyarakat Indonesia yang gampang panas. Termasuk pengguna media sosial kita.
Melahirkan prokontra memang. Beberapa pengguna media maya bahkan membandingkan kebijakan Rudiantara dengan Tifatul mantan menteri Komunikasi periode sebelumnya. Saat itu Tifatul melakukan penutupan situs porno di Indonesia. Bahkan Rudiantara dianggap menyebarkan #Islamophobia.
Bukan apa-apa, apalagi turut membandingkan antara Tifatul dan Rudiantara, penanggulangan isu radikal perlu diantisipasi sejak dini, karena menjadi titik awal lahirnya terorisme. Penyebaran pesan-pesan kebencian sangat mudah dilakukan, melihat iklim penggunaan media sosial yang spontan, sangat spontan. Asal retweet, asal sebar, asal like tanpa memikirkan konsekuensi dari isi kontent membuat satu isu mudah menyebar hingga ke mana-mana. Ditambah karakter masyarakat yang mudah panas, mudah marah dan mudah terhasut, apalagi bila merembet ke isu sara. Sekali tebar, semua bisa terbakar.

Selasa, 07 Juli 2015

Telur Dadar atau Ceplok, Pilih Mana?





Membicarakan makanan, bukan sekadar tentang apa yang kau suap, dikecap oleh lidahmu, masuk ke tenggorokan kemudian dicerna dalam tubuhmu. Lebih dari itu, kadang makanan yang kau santap setiap harinya, memberi makna untuk beberapa bagian di hidupmu.

Maka perkenankan kutuliskan tentang dua makanan ini, yang terlampau sering aku dibuat bingung olehnya. Bukan tentang makanannya, tapi selera orang-orang saat diberi pilihan tentang dua makanan ini. Kebiasaanku adalah selalu mencari tahu alasan, kenapa orang-orang lebih memilih satu atas dua pilihan ini. Dua makanan ini adalah telur ceplok dan telur dadar.


Pertama keponakanku, Aish. Sejak dia bisa menelan makanan selain ASI dan bubur, keponakanku ini selalu saja merequest telur yang digoreng ceplok. Telur ceplok panas yang baru ditiriskan dari wajan, ditambah kecap manis adalah menu paling favoritnya. Berbeda dengan balita lain yang harus dipaksa dengan pelbagai cara agar mau makan, Aish cukup diberi iming-iming telur mata sapi, nama lain dari telur ceplok, maka ia akan sangat antusias. Telur ceplok dan kecap manis selalu berhasil menambah nafsu makannya berkali-kali lipat. Sangat mudah.

Kali lain, sekira dua minggu lalu, di saat abang penjual nasi goreng yang berjualan di sekitar Asrama Polisi Panaikang menanyakan untuk menu tambahan selain nasi goreng yang kupesan bungkus bawa pulang saat itu.

 “Dek mau ditambahkan telur ceplok?,” tanyanya setelah menyelesaikan orderan nasi goreng pesananku.

“Kenapa pilihannya hanya telur ceplok? Kenapa tak sekalian bilang saja, dek telur dadar atau ceplok?” , tanyaku dalam hati.

Kakak laki-laki ku juga sama, telur ceplok selalu dimintanya saat diberi pilihan, “Dibuatkan telur dadar atau ceplok, kak?”.

“Telur ceplok mo, lebih gampang. Jangan mau susah-susah, yang penting telur,” jawabnya.

Apa karena alasan lebih praktis, sehingga hampir semua orang lebih memilih telur yang hanya diceplok saja di atas wajan penggorengan, tunggu sebentar kemudian matang.

Jumat, 03 Juli 2015

Memilih dan Hal-hal yang Memberatkannya

“Bukankah memilih untuk dipilihkan adalah sebuah pilihan?”

Kata-kata itu dikirimkan kakak perempuanku via Blackberry Massenger (BBM) ketika aku mencoba untuk mengonfirmasi perihal perjodohannya.

“Tapi bukannya kita berhak memilih sendiri?” balasku mencoba meyakinkan dirinya.  Ada yang salah dengan perjodohan ini. Pikirku saat itu.

“Apa salahnya dengan meminta orang lain untuk memilihkan. Toh akhirnya kita sendiri ji yang memilih, apakah sepakat dengan pilihannya atau tidak,” langsung kuiyakan saja kata-katanya kali ini. Perdebatan akan semakin panjang. Toh kalau ia setuju, akupun harus setuju. Karena ketika ia bahagia, di saat yang sama akupun turut berbahagia.



Masih sangat segar di ingatan, kejadian sekira setahun yang lalu, di saat keluarga dihebohkan dengan kabar perjodohan kakak. Keputusan sepihak yang dilakukan Bapak saat itu. Bukan hanya Ibu yang kaget luar biasa. Saya sebagai adik yang merasa sangat kenal dengan kakaknya pun merespon yang sama dengan Ibu. Tak biasanya Bapak memutuskan sepihak tanpa meminta pertimbangan keluarga besar. Apalagi untuk hal seperti ini. Menentukan masa depan keluarga kakak.

Tidak ada yang salah dengan perjodohan ini, hanya saja bila mengenal karakter kakak, maka perjodohan ini adalah lelucon paling jenaka di dunia. Kakak dengan segala karakternya, adalah perempuan paling kekinian di kepalaku. Aku kadang memanggilnya dengan sebutan ‘kakak gaul’. Mana mungkin ia menerima konsep pernikahan ala Siti Nurbaya?

Ia juga perempuan paling keras untuk hal-hal yang diinginkannya. Aku tahu, lebih cepatnya selalu mencari tahu, siapapun lelaki yang pernah dekat dengannya, termasuk lelaki yang disiapkannya untuk dipertemukan ke keluarga besar kami. Tapi mau dikata apa, ia lebih memilih berbakti kepada orang tuanya.

Senin, 12 Januari 2015

Tentang Senin Pukul 5 Sore

Gambar diambil di http://radjisrusdi.wordpress.com/



“Senin mu terbuat dari apa?”


Saban Senin pagi, aku akan mengetik kalimat ini di fitur pesan handphoneku untuk kukirimkan sendiri ke nomor handphone ku yang lain.

Petang sebelum sore akan kubalas pesan itu kembali ke nomor pengirimnya. Seperti itulah aku menghidupi Senin, mengawalinya tiap pukul 7 pagi dan menyelesaikan di pukul  5 sore.

Senin pukul 5 sore ketika aku mengetik pesan berisi apa yang kulakukan seharian, kadang dengan 3 balasan pesan sekaligus untuk menceritakan kepada diriku sendiri, untuk menyadarkan diri sendiri, aku telah melakukan banyak hari itu

Kamis, 22 Agustus 2013

Tentang Menghidupi Cinta dan Kita yang Ada di Dalamnya



Jatuh cinta itu sangat mudahnya. Pandangan kita hanya perlu bertemu sekian detiknya.
1
2
3
4
5

Kemudian melempar senyum. Esoknya kita mampu bergandengan tangan.


Kita berdua hanya berpegangan tangan 
Tak perlu berpelukan
Kita berdua hanya saling bercerita 
Tak perlu memuji

Tentang bergandeng tangan, kita hanya perlu seirama.
Mari berlari bersama, tentu saja sesekali kita harus berjalan pelan. Tak apa jika berhenti, tapi pastikan tak pernah lepas.
Atau salah satu dari kita akan terpisah untuk selamanya. Karena bagiku tak pernah ada adegan berbalik arah.
Tentang cinta yang harus hidup di antara kita. Semua akan mudah jika memang kamu tak menginginkannya punah.

Rabu, 11 Juli 2012

surat sederhana untuk kamu, suamiku kelak

Hai kamu!
Tahukah kamu, apa yang sekarang ini sedang aku lakukan?
Menjalani hariku dalam penantian panjang menunggumu, aku hanya sibuk dalam segala hal yang bisa memantaskan diriku untuk menjadi pendampingmu kelak. Hanya itu. 
Menjadi seorang perempuan yang mampu mengutuhkanmu. 

Menjadi istrimu, aku dituntut harus bisa menjaga kehormatan diriku dan keluargaku. Tahukah kau? Ini sungguh sangat berat. Menjaga kehormatanku sebagai perempuan saat ini sungguh tidak mudah. Aku harus selalu awas dengan lelaki yang berniat buruk padaku. Akupun harus selalu menghindari nafsu yang bisa menjerumuskan.  Tahulah kau bagaimana godaan yang datang di zaman sekarang. Tapi aku akan selalu berusaha, karena yakinku, hanya perempuan suci yang bisa menjadi istrimu kelak.
Akupun harus selalu mempersibuk diri dengan torehan prestasi agar kelak hanya rasa bangga yang kau rasakan ketika memperkenalkanku sebagai istrimu kepada siapapun, kepada khalayak dunia. Tak boleh ada rasa malu dan ragu sedikitpun terbersit di kepalamu.