Gambar
diambil di http://radjisrusdi.wordpress.com/
“Senin mu terbuat dari apa?”
Saban Senin pagi, aku akan
mengetik kalimat ini di fitur pesan handphoneku untuk kukirimkan sendiri ke
nomor handphone ku yang lain.
Petang sebelum sore akan kubalas
pesan itu kembali ke nomor pengirimnya. Seperti itulah aku menghidupi Senin,
mengawalinya tiap pukul 7 pagi dan menyelesaikan di pukul 5 sore.
Senin pukul 5 sore ketika aku
mengetik pesan berisi apa yang kulakukan seharian, kadang dengan 3 balasan pesan
sekaligus untuk menceritakan kepada diriku sendiri, untuk menyadarkan diri
sendiri, aku telah melakukan banyak hari itu
Meski itu hanya duduk di ruang
tengah membaca headline koran yang saban hari dikirim untuk mempengaruhi cara
berpikir ku, memperhatikan melati yang kuntum di halaman, menghitung pejalan
kaki yang melintas di jalan depan rumah, ataupun tentang berapa banyak gorengan
yang kuhabiskan di kantin kampus. Kucoba mendeskripsikan sedetail yang kubisa. Sebenarnya
hanya agar apa yang kulakukan tiap Senin tiba terlihat lebih banyak.
Bukan membohongi diri sendiri, tapi
kucoba untuk terus dan harus membahagiakan diri sendiri setiap Senin pukul 5
sore. Hidupku terbuat dari banyak hal tiap Senin.
Senin pukul 5 sore menjadi hari
paling bersejarah untukku. Sedikit lagi mengalahkan Rabu pukul 9 malam 23 tahun
lalu.
Namun Senin pukul 5 sore kali
ini. Kubaca pesan yang masuk.
“Senin mu terbuat dari apa?”
“Aku hidup tapi patah.”
Kuketik pesan terpendek sejak kulakukan
ritual itu 3 bulan lalu. Ya, aku hidup
tapi patah.
Senin pukul 5 sore kali ini tidak
biasa. Aku menyadari aku memang telah patah. 3 detik kemudian, Handphone ku berdering
kembali. Isinya, pesan yang isinya
berbeda dari 15 Senin pukul 5 sore yang telah lalu, pesan berisi harapan
sekaligus putus asa yang kuterima sejak ritual ini kuputuskan kulakukan karena
hidupku yang pernah hampir berakhir di hari Senin pukul 5 sore.
Selama ini kuyakinkan diriku, Senin
ku terbuat lebih dari sekadar hidup. Seninku bernyawa. Aku bisa berlari, hatiku
kuat melebihi tetanggaku, seorang perempuan paruh baya yang harus menghidupi
Ayahnya yang telah berusia sepuh, adiknya yang pengangguran, dua putranya dan
suaminya menceraikannya. Kuatku melebihi anak usia 8 tahun yang sepulang
sekolah harus berkeliling sejauh mungkin menjajakan gorengan buatan ibunya demi
tambahan biaya sekolah dan tiap malam menemani ayahnya menunggui bengkel tambal ban keliling mereka di pinggir jalan tidak jauh dari rumah.
Bila semangat hidupmu nilainya
lebih besar dari patah hatimu, maka hidup akan kau anggap sedang baik-baik
saja.
Tapi hari ini Senin ku kali ini
hanyalah hidup. Hidup yang patah. Kuterima itu.
Ya aku masih hidup sejak Senin
pukul 5 sore Oktober lalu, nyawaku hampir saja hilang, bersama matahari yang
juga akan lenyap dari langit sesaat lagi saat itu di Senin pukul 5 sore.
Senin pukul 5 sore. Meski patah, aku
perlu menyadarkan diriku sendiri, bahwa Tuhan memberikan karunia yang besar
untuk selalu aku syukuri. Senin pukul 5 sore adalah saat di mana aku
menghabiskan diri merenung dengan handphone di tangan yang isinya adalah
tentang terbuat apa Seninku selama 10
jam itu.
Bagimu mungkin itu bukan apa-apa.
Bagimu yang belum pernah
merasakan Senin pagimu yang semuanya berjalan menyenangkan, Senin pagimu kamu
masih bisa sarapan di rumah, berangkat ke kampus, dipeluk ibumu, mencium tangan
ayahmu, kamu masih bisa menyaksikan bunga bermekaran di taman depan rumahmu, menerima
kuliah dengan bahagia dari dosen kesayanganmu, dan kemudian pukul 5 sore nyawanu yang jumlahnya hanya satu akan dihabisi.
Mungkin bagimu, kehidupan terlalu
sulit ditebak. Baik Senin, Selasa, Rabu atau Minggu. Ibu muda yang kamu temui pagi
tadi di jalan kompleks sedang berolah raga, lepas Duhur mungkin saja kerandanya
telah melintas kembali di jalan depan rumahmu. Hidup dan mati memang susah ditebak. Tapi Senin
pukul 5 sore yang membuatku hampir binasa, bukan tentang aku yang terlalu berlebihan
menghadapi ketidak pastian hidup.
Senin pukul 5 sore adalah hari
aku pernah hampir mati.
Senin pukul 5 sore, di saat
langit sedang indahnya, aku akan selesai.
Senin pukul 5 sore, di saat
pasangan yang dimabuk cinta sedang menyaksikan semburat senja yang temaram,
atau berciuman di bawah matahari tenggelam.
Senin pukul 5 sore, di saat
mozaik langit sedang merah buram, nyawaku hampir karam.
Laut akan membawaku jasadku pergi, sedikit lagi.
Senin pukul 5 sore, di saat aku
masih bisa menyelamatkan diriku dari mata merah, tangan yang mencengkeram
leherku, dan tubuh kekar yang kuajak bergulat demi hidupku yang tidak boleh
berakhir di Senin pukul 5 sore.
Kemudian kali ini,
Senin pukul 5 sore, meski aku
masih hidup, tapi hatiku telah patah.
Senin pukul 5 sore, aku masih
hidup.
Senin, 12 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar