Senin, 12 Januari 2015

Tentang Senin Pukul 5 Sore

Gambar diambil di http://radjisrusdi.wordpress.com/



“Senin mu terbuat dari apa?”


Saban Senin pagi, aku akan mengetik kalimat ini di fitur pesan handphoneku untuk kukirimkan sendiri ke nomor handphone ku yang lain.

Petang sebelum sore akan kubalas pesan itu kembali ke nomor pengirimnya. Seperti itulah aku menghidupi Senin, mengawalinya tiap pukul 7 pagi dan menyelesaikan di pukul  5 sore.

Senin pukul 5 sore ketika aku mengetik pesan berisi apa yang kulakukan seharian, kadang dengan 3 balasan pesan sekaligus untuk menceritakan kepada diriku sendiri, untuk menyadarkan diri sendiri, aku telah melakukan banyak hari itu


Meski itu hanya duduk di ruang tengah membaca headline koran yang saban hari dikirim untuk mempengaruhi cara berpikir ku, memperhatikan melati yang kuntum di halaman, menghitung pejalan kaki yang melintas di jalan depan rumah, ataupun tentang berapa banyak gorengan yang kuhabiskan di kantin kampus. Kucoba mendeskripsikan sedetail yang kubisa. Sebenarnya hanya agar apa yang kulakukan tiap Senin tiba terlihat lebih banyak.

Bukan membohongi diri sendiri, tapi kucoba untuk terus dan harus membahagiakan diri sendiri setiap Senin pukul 5 sore. Hidupku terbuat dari banyak hal tiap Senin.


Senin pukul 5 sore menjadi hari paling bersejarah untukku. Sedikit lagi mengalahkan Rabu pukul 9 malam 23 tahun lalu.

Namun Senin pukul 5 sore kali ini. Kubaca pesan yang masuk.

“Senin mu terbuat dari apa?”

“Aku hidup tapi patah.”

Kuketik pesan terpendek sejak kulakukan ritual itu 3 bulan lalu.  Ya, aku hidup tapi patah.

Senin pukul 5 sore kali ini tidak biasa. Aku menyadari aku memang telah patah. 3 detik kemudian, Handphone ku berdering  kembali. Isinya, pesan yang isinya berbeda dari 15 Senin pukul 5 sore yang telah lalu, pesan berisi harapan sekaligus putus asa yang kuterima sejak ritual ini kuputuskan kulakukan karena hidupku yang pernah hampir berakhir di hari Senin pukul 5 sore.

Selama ini kuyakinkan diriku, Senin ku terbuat lebih dari sekadar hidup. Seninku bernyawa. Aku bisa berlari, hatiku kuat melebihi tetanggaku, seorang perempuan paruh baya yang harus menghidupi Ayahnya yang telah berusia sepuh, adiknya yang pengangguran, dua putranya dan suaminya menceraikannya. Kuatku melebihi anak usia 8 tahun yang sepulang sekolah harus berkeliling sejauh mungkin menjajakan gorengan buatan ibunya demi tambahan biaya sekolah dan tiap malam menemani ayahnya menunggui bengkel tambal ban keliling mereka di pinggir jalan tidak jauh dari rumah.

Bila semangat hidupmu nilainya lebih besar dari patah hatimu, maka hidup akan kau anggap sedang baik-baik saja.

Tapi hari ini Senin ku kali ini hanyalah hidup. Hidup yang patah. Kuterima itu.

Ya aku masih hidup sejak Senin pukul 5 sore Oktober lalu, nyawaku hampir saja hilang, bersama matahari yang juga akan lenyap dari langit sesaat lagi saat itu di Senin pukul 5 sore.

Senin pukul 5 sore. Meski patah, aku perlu menyadarkan diriku sendiri, bahwa Tuhan memberikan karunia yang besar untuk selalu aku syukuri. Senin pukul 5 sore adalah saat di mana aku menghabiskan diri merenung dengan handphone di tangan yang isinya adalah tentang terbuat apa Seninku  selama 10 jam itu.

Bagimu mungkin itu bukan apa-apa.

Bagimu yang belum pernah merasakan Senin pagimu yang semuanya berjalan menyenangkan, Senin pagimu kamu masih bisa sarapan di rumah, berangkat ke kampus, dipeluk ibumu, mencium tangan ayahmu, kamu masih bisa menyaksikan bunga bermekaran di taman depan rumahmu, menerima kuliah dengan bahagia dari dosen kesayanganmu, dan kemudian pukul 5 sore nyawanu yang jumlahnya hanya satu  akan dihabisi.

Mungkin bagimu, kehidupan terlalu sulit ditebak. Baik Senin, Selasa, Rabu atau Minggu. Ibu muda yang kamu temui pagi tadi di jalan kompleks sedang berolah raga, lepas Duhur mungkin saja kerandanya telah melintas kembali di jalan depan rumahmu. Hidup  dan mati memang susah ditebak. Tapi Senin pukul 5 sore yang membuatku hampir binasa, bukan tentang aku yang terlalu berlebihan menghadapi ketidak pastian hidup.

Senin pukul 5 sore adalah hari aku pernah hampir mati.

Senin pukul 5 sore, di saat langit sedang indahnya, aku akan selesai.

Senin pukul 5 sore, di saat pasangan yang dimabuk cinta sedang menyaksikan semburat senja yang temaram, atau berciuman di bawah matahari tenggelam.

Senin pukul 5 sore, di saat mozaik langit sedang merah buram, nyawaku   hampir karam. Laut akan membawaku jasadku pergi, sedikit lagi.

Senin pukul 5 sore, di saat aku masih bisa menyelamatkan diriku dari mata merah, tangan yang mencengkeram leherku, dan tubuh kekar yang kuajak bergulat demi hidupku yang tidak boleh berakhir di Senin pukul 5 sore.

Kemudian kali ini,

Senin pukul 5 sore, meski aku masih hidup, tapi hatiku telah patah.

Senin pukul 5 sore, aku masih hidup.

Senin, 12 Januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar