Kamis, 30 Juli 2015

Damai Dimulai dari Ujung Jarimu!

Sekira April lalu, jagat dunia maya dihebohkan dengan pemblokiran 22 situs oleh Kementerian Informasi dan Komunikasi Indonesia. Situ-situs ini dianggap menyebarkan isu kebencian dan paham radikalisme. Sensitif memang, karena beberapa situs ini dikenal sebagai situs penyebar dakwah salah satu agama di Indonesia.
Meski dijelaskan berkali-kali oleh Rudiantara, Menteri Informasi dan Komunikasi, bahwa alasan penutupan 22 situs yang merupakan rekomendasi dari BNPT ini karena mereka memuat konten negatif dan isu radikalisme. Bukan apa-apa  isu kebencian sangat mudah menyebar di masyarakat, apalagi untuk karakter masyarakat Indonesia yang gampang panas. Termasuk pengguna media sosial kita.
Melahirkan prokontra memang. Beberapa pengguna media maya bahkan membandingkan kebijakan Rudiantara dengan Tifatul mantan menteri Komunikasi periode sebelumnya. Saat itu Tifatul melakukan penutupan situs porno di Indonesia. Bahkan Rudiantara dianggap menyebarkan #Islamophobia.
Bukan apa-apa, apalagi turut membandingkan antara Tifatul dan Rudiantara, penanggulangan isu radikal perlu diantisipasi sejak dini, karena menjadi titik awal lahirnya terorisme. Penyebaran pesan-pesan kebencian sangat mudah dilakukan, melihat iklim penggunaan media sosial yang spontan, sangat spontan. Asal retweet, asal sebar, asal like tanpa memikirkan konsekuensi dari isi kontent membuat satu isu mudah menyebar hingga ke mana-mana. Ditambah karakter masyarakat yang mudah panas, mudah marah dan mudah terhasut, apalagi bila merembet ke isu sara. Sekali tebar, semua bisa terbakar.

Selasa, 07 Juli 2015

Telur Dadar atau Ceplok, Pilih Mana?





Membicarakan makanan, bukan sekadar tentang apa yang kau suap, dikecap oleh lidahmu, masuk ke tenggorokan kemudian dicerna dalam tubuhmu. Lebih dari itu, kadang makanan yang kau santap setiap harinya, memberi makna untuk beberapa bagian di hidupmu.

Maka perkenankan kutuliskan tentang dua makanan ini, yang terlampau sering aku dibuat bingung olehnya. Bukan tentang makanannya, tapi selera orang-orang saat diberi pilihan tentang dua makanan ini. Kebiasaanku adalah selalu mencari tahu alasan, kenapa orang-orang lebih memilih satu atas dua pilihan ini. Dua makanan ini adalah telur ceplok dan telur dadar.


Pertama keponakanku, Aish. Sejak dia bisa menelan makanan selain ASI dan bubur, keponakanku ini selalu saja merequest telur yang digoreng ceplok. Telur ceplok panas yang baru ditiriskan dari wajan, ditambah kecap manis adalah menu paling favoritnya. Berbeda dengan balita lain yang harus dipaksa dengan pelbagai cara agar mau makan, Aish cukup diberi iming-iming telur mata sapi, nama lain dari telur ceplok, maka ia akan sangat antusias. Telur ceplok dan kecap manis selalu berhasil menambah nafsu makannya berkali-kali lipat. Sangat mudah.

Kali lain, sekira dua minggu lalu, di saat abang penjual nasi goreng yang berjualan di sekitar Asrama Polisi Panaikang menanyakan untuk menu tambahan selain nasi goreng yang kupesan bungkus bawa pulang saat itu.

 “Dek mau ditambahkan telur ceplok?,” tanyanya setelah menyelesaikan orderan nasi goreng pesananku.

“Kenapa pilihannya hanya telur ceplok? Kenapa tak sekalian bilang saja, dek telur dadar atau ceplok?” , tanyaku dalam hati.

Kakak laki-laki ku juga sama, telur ceplok selalu dimintanya saat diberi pilihan, “Dibuatkan telur dadar atau ceplok, kak?”.

“Telur ceplok mo, lebih gampang. Jangan mau susah-susah, yang penting telur,” jawabnya.

Apa karena alasan lebih praktis, sehingga hampir semua orang lebih memilih telur yang hanya diceplok saja di atas wajan penggorengan, tunggu sebentar kemudian matang.

Jumat, 03 Juli 2015

Memilih dan Hal-hal yang Memberatkannya

“Bukankah memilih untuk dipilihkan adalah sebuah pilihan?”

Kata-kata itu dikirimkan kakak perempuanku via Blackberry Massenger (BBM) ketika aku mencoba untuk mengonfirmasi perihal perjodohannya.

“Tapi bukannya kita berhak memilih sendiri?” balasku mencoba meyakinkan dirinya.  Ada yang salah dengan perjodohan ini. Pikirku saat itu.

“Apa salahnya dengan meminta orang lain untuk memilihkan. Toh akhirnya kita sendiri ji yang memilih, apakah sepakat dengan pilihannya atau tidak,” langsung kuiyakan saja kata-katanya kali ini. Perdebatan akan semakin panjang. Toh kalau ia setuju, akupun harus setuju. Karena ketika ia bahagia, di saat yang sama akupun turut berbahagia.



Masih sangat segar di ingatan, kejadian sekira setahun yang lalu, di saat keluarga dihebohkan dengan kabar perjodohan kakak. Keputusan sepihak yang dilakukan Bapak saat itu. Bukan hanya Ibu yang kaget luar biasa. Saya sebagai adik yang merasa sangat kenal dengan kakaknya pun merespon yang sama dengan Ibu. Tak biasanya Bapak memutuskan sepihak tanpa meminta pertimbangan keluarga besar. Apalagi untuk hal seperti ini. Menentukan masa depan keluarga kakak.

Tidak ada yang salah dengan perjodohan ini, hanya saja bila mengenal karakter kakak, maka perjodohan ini adalah lelucon paling jenaka di dunia. Kakak dengan segala karakternya, adalah perempuan paling kekinian di kepalaku. Aku kadang memanggilnya dengan sebutan ‘kakak gaul’. Mana mungkin ia menerima konsep pernikahan ala Siti Nurbaya?

Ia juga perempuan paling keras untuk hal-hal yang diinginkannya. Aku tahu, lebih cepatnya selalu mencari tahu, siapapun lelaki yang pernah dekat dengannya, termasuk lelaki yang disiapkannya untuk dipertemukan ke keluarga besar kami. Tapi mau dikata apa, ia lebih memilih berbakti kepada orang tuanya.