Sekira April lalu, jagat dunia maya dihebohkan dengan pemblokiran 22 situs oleh Kementerian Informasi dan Komunikasi Indonesia. Situ-situs ini dianggap menyebarkan isu kebencian dan paham radikalisme. Sensitif memang, karena beberapa situs ini dikenal sebagai situs penyebar dakwah salah satu agama di Indonesia.
Meski dijelaskan berkali-kali oleh Rudiantara, Menteri Informasi dan Komunikasi, bahwa alasan penutupan 22 situs yang merupakan rekomendasi dari BNPT ini karena mereka memuat konten negatif dan isu radikalisme. Bukan apa-apa isu kebencian sangat mudah menyebar di masyarakat, apalagi untuk karakter masyarakat Indonesia yang gampang panas. Termasuk pengguna media sosial kita.
Melahirkan prokontra memang. Beberapa pengguna media maya bahkan membandingkan kebijakan Rudiantara dengan Tifatul mantan menteri Komunikasi periode sebelumnya. Saat itu Tifatul melakukan penutupan situs porno di Indonesia. Bahkan Rudiantara dianggap menyebarkan #Islamophobia.
Bukan apa-apa, apalagi turut membandingkan antara Tifatul dan Rudiantara, penanggulangan isu radikal perlu diantisipasi sejak dini, karena menjadi titik awal lahirnya terorisme. Penyebaran pesan-pesan kebencian sangat mudah dilakukan, melihat iklim penggunaan media sosial yang spontan, sangat spontan. Asal retweet, asal sebar, asal like tanpa memikirkan konsekuensi dari isi kontent membuat satu isu mudah menyebar hingga ke mana-mana. Ditambah karakter masyarakat yang mudah panas, mudah marah dan mudah terhasut, apalagi bila merembet ke isu sara. Sekali tebar, semua bisa terbakar.