Membicarakan makanan, bukan sekadar tentang apa yang kau suap, dikecap oleh lidahmu, masuk ke tenggorokan kemudian dicerna dalam tubuhmu. Lebih dari itu, kadang makanan yang kau santap setiap harinya, memberi makna untuk beberapa bagian di hidupmu.
Maka perkenankan kutuliskan tentang dua makanan ini, yang terlampau sering aku dibuat bingung olehnya. Bukan tentang makanannya, tapi selera orang-orang saat diberi pilihan tentang dua makanan ini. Kebiasaanku adalah selalu mencari tahu alasan, kenapa orang-orang lebih memilih satu atas dua pilihan ini. Dua makanan ini adalah telur ceplok dan telur dadar.
Pertama
keponakanku, Aish. Sejak dia bisa menelan makanan selain ASI dan bubur,
keponakanku ini selalu saja merequest
telur yang digoreng ceplok. Telur ceplok panas yang baru ditiriskan dari wajan,
ditambah kecap manis adalah menu paling favoritnya. Berbeda dengan balita lain yang harus dipaksa dengan
pelbagai cara agar mau makan, Aish cukup diberi iming-iming telur mata sapi,
nama lain dari telur ceplok, maka ia akan sangat antusias. Telur ceplok dan
kecap manis selalu berhasil menambah nafsu makannya berkali-kali lipat. Sangat mudah.
Kali
lain, sekira dua minggu lalu, di saat abang penjual nasi goreng yang berjualan
di sekitar Asrama Polisi Panaikang menanyakan untuk menu tambahan selain nasi
goreng yang kupesan bungkus bawa pulang saat itu.
“Dek mau ditambahkan telur ceplok?,” tanyanya
setelah menyelesaikan orderan nasi goreng pesananku.
“Kenapa
pilihannya hanya telur ceplok? Kenapa tak sekalian bilang saja, dek telur dadar
atau ceplok?” , tanyaku dalam hati.
Kakak
laki-laki ku juga sama, telur ceplok selalu dimintanya saat diberi pilihan,
“Dibuatkan telur dadar atau ceplok, kak?”.
“Telur
ceplok mo, lebih gampang. Jangan mau susah-susah, yang penting telur,” jawabnya.
Apa
karena alasan lebih praktis, sehingga hampir semua orang lebih memilih telur
yang hanya diceplok saja di atas wajan penggorengan, tunggu sebentar kemudian
matang.
Sungguh rumit luar biasa, bukan?
Ya
kupikir pantaslah, bila beberapa orang lebih memilih telur yang diceplok. Kalau
saja untuk hidupmu, kau bisa memilih mana yang lebih praktis. Hanya ceplok
kemudian matang seketika.
Semuanya akan menjadi sangat mudah, bukan?
Kita
tak perlu memikirkan berapa takaran garam, teknik mengocok agar adonan hidupmu
mengembang sempurna. Tak perlu cemas bila lebih banyak cairan telur yang tumpah
dari wadahnya, akibat teknik mengocok yang salah. Tak perlu mengkhawatirkan
apa-apa. Membolak-balik hidupmu agar matang sempurna, tak perlu kau lakukan.
Kuingat
alasan lain memilih telur ceplok dari seorang kawanku di bangku SMA. Di
saat makan, ia selalu saja menyisihkan bagian kuning telur. Padahal dia tahu,
justru di bagian kuning telurlah, sumber protein paling banyak, dibanding
putihnya.
Hidup
adalah percampuran dari setiap elemen, telur, garam, dan rempah penyedap lain
yang kau tambahkan bisa sesuai selera. Dari bawang putih, bawang merah, daun
bawang, bahkan beberapa potongan sayur berupa wortel atau kol kalau kau mau.
Ahhh nikmat luar biasa, bukan?
Bila
kau ingin hidup lebih berwarna seperti apa yang tersaji di telur dadar, maka
yang kau lakukan, memadu madankan apapun komposisi hidup ini. Semuanya harus
sesuai kadarnya. Jangan bikin eneg, apalagi mual saat kau cicipi. Semua tentang
kerja keras saat mengocok adonan, dan menggunakanan teknik sedemikian rupa saat
berada di wajan hidupmu. Bukan sekali ceplok kemudian matang.
Maka
bisa kukata, bahwa hidup adalah pekerjaan menyatukan setiap komposisi agar bisa
tersaji nikmat di atas piring. Ya semuanya untuk kau santap habis senikmat
mungkin, bukan disisakan di bagian pinggir piringmu.
Karenanya,
sekali lagi kutanyakan padamu. Kau akan memilih mana, telur dadar atau ceplok?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar