Selasa, 07 Juli 2015

Telur Dadar atau Ceplok, Pilih Mana?





Membicarakan makanan, bukan sekadar tentang apa yang kau suap, dikecap oleh lidahmu, masuk ke tenggorokan kemudian dicerna dalam tubuhmu. Lebih dari itu, kadang makanan yang kau santap setiap harinya, memberi makna untuk beberapa bagian di hidupmu.

Maka perkenankan kutuliskan tentang dua makanan ini, yang terlampau sering aku dibuat bingung olehnya. Bukan tentang makanannya, tapi selera orang-orang saat diberi pilihan tentang dua makanan ini. Kebiasaanku adalah selalu mencari tahu alasan, kenapa orang-orang lebih memilih satu atas dua pilihan ini. Dua makanan ini adalah telur ceplok dan telur dadar.


Pertama keponakanku, Aish. Sejak dia bisa menelan makanan selain ASI dan bubur, keponakanku ini selalu saja merequest telur yang digoreng ceplok. Telur ceplok panas yang baru ditiriskan dari wajan, ditambah kecap manis adalah menu paling favoritnya. Berbeda dengan balita lain yang harus dipaksa dengan pelbagai cara agar mau makan, Aish cukup diberi iming-iming telur mata sapi, nama lain dari telur ceplok, maka ia akan sangat antusias. Telur ceplok dan kecap manis selalu berhasil menambah nafsu makannya berkali-kali lipat. Sangat mudah.

Kali lain, sekira dua minggu lalu, di saat abang penjual nasi goreng yang berjualan di sekitar Asrama Polisi Panaikang menanyakan untuk menu tambahan selain nasi goreng yang kupesan bungkus bawa pulang saat itu.

 “Dek mau ditambahkan telur ceplok?,” tanyanya setelah menyelesaikan orderan nasi goreng pesananku.

“Kenapa pilihannya hanya telur ceplok? Kenapa tak sekalian bilang saja, dek telur dadar atau ceplok?” , tanyaku dalam hati.

Kakak laki-laki ku juga sama, telur ceplok selalu dimintanya saat diberi pilihan, “Dibuatkan telur dadar atau ceplok, kak?”.

“Telur ceplok mo, lebih gampang. Jangan mau susah-susah, yang penting telur,” jawabnya.

Apa karena alasan lebih praktis, sehingga hampir semua orang lebih memilih telur yang hanya diceplok saja di atas wajan penggorengan, tunggu sebentar kemudian matang.



Dibanding telur dadar, yang harus dikocok lebih dahulu sekian menit lamanya hingga mengembang. Kemudian  harus kau takar jumlah garamnya, agar pas di lidah. Belum lagi teknik menuang telur yang telah dikocok ke atas wajan yang tak boleh terburu-bur. Dari bagian terdalam wajan hingga bagian terluar. Pekerjaan belum selesai, adonan telur dadar harus kau bolak-balik sedemikian rupa, agar ia mengembang sempurna di atas wajan. Tidak tipis atau bahkan bolong di tengah.

Sungguh rumit luar biasa, bukan?


Ya kupikir pantaslah, bila beberapa orang lebih memilih telur yang diceplok. Kalau saja untuk hidupmu, kau bisa memilih mana yang lebih praktis. Hanya ceplok kemudian matang seketika.

Semuanya akan menjadi sangat mudah, bukan?


Kita tak perlu memikirkan berapa takaran garam, teknik mengocok agar adonan hidupmu mengembang sempurna. Tak perlu cemas bila lebih banyak cairan telur yang tumpah dari wadahnya, akibat teknik mengocok yang salah. Tak perlu mengkhawatirkan apa-apa. Membolak-balik hidupmu agar matang sempurna, tak perlu kau lakukan.

Kuingat alasan lain memilih telur ceplok dari seorang kawanku di bangku SMA. Di saat makan, ia selalu saja menyisihkan bagian kuning telur. Padahal dia tahu, justru di bagian kuning telurlah, sumber protein paling banyak, dibanding putihnya.

Bikin eneg, adalah satu-satunya alasan bagi dia yang sejak di bangku SD melakukan kebiasaan itu, menyisakan kuning telur di piringnya.

Ah hidup akan sangat mudah, kalau kau bisa memilih mencicipi bagian yang kau suka saja. Tapi, hei Bung! Hidup bukan hitam putih saja. Atau kau diberi hak untuk melalui yang putih saja, tanpa melalui hidup bikin eneg dan mual. Hidup tak segampang itu, membuang bagian yang tak kau suka, yang pahit ataupun asam, untuk bisa bebas sekenanya kau ambil bagian yang manis dan sedap saja.

Hidup adalah percampuran dari setiap elemen, telur, garam, dan rempah penyedap lain yang kau tambahkan bisa sesuai selera. Dari bawang putih, bawang merah, daun bawang, bahkan beberapa potongan sayur berupa wortel atau kol kalau kau mau.

Ahhh nikmat luar biasa, bukan?


Bila kau ingin hidup lebih berwarna seperti apa yang tersaji di telur dadar, maka yang kau lakukan, memadu madankan apapun komposisi hidup ini. Semuanya harus sesuai kadarnya. Jangan bikin eneg, apalagi mual saat kau cicipi. Semua tentang kerja keras saat mengocok adonan, dan menggunakanan teknik sedemikian rupa saat berada di wajan hidupmu. Bukan sekali ceplok kemudian matang.

Maka bisa kukata, bahwa hidup adalah pekerjaan menyatukan setiap komposisi agar bisa tersaji nikmat di atas piring. Ya semuanya untuk kau santap habis senikmat mungkin, bukan disisakan di bagian pinggir piringmu.

Karenanya, sekali lagi kutanyakan padamu. Kau akan memilih mana, telur dadar atau ceplok?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar