“Bukankah memilih untuk dipilihkan adalah sebuah pilihan?”
Kata-kata itu dikirimkan kakak perempuanku via Blackberry Massenger (BBM) ketika aku mencoba untuk mengonfirmasi perihal perjodohannya.
“Tapi bukannya kita berhak memilih sendiri?” balasku mencoba meyakinkan dirinya. Ada yang salah dengan perjodohan ini. Pikirku saat itu.
“Apa salahnya dengan meminta orang lain untuk memilihkan. Toh akhirnya kita sendiri ji yang memilih, apakah sepakat dengan pilihannya atau tidak,” langsung kuiyakan saja kata-katanya kali ini. Perdebatan akan semakin panjang. Toh kalau ia setuju, akupun harus setuju. Karena ketika ia bahagia, di saat yang sama akupun turut berbahagia.
Masih sangat segar di ingatan, kejadian sekira setahun
yang lalu, di saat keluarga dihebohkan dengan kabar perjodohan kakak. Keputusan
sepihak yang dilakukan Bapak saat itu. Bukan hanya Ibu yang kaget luar biasa. Saya
sebagai adik yang merasa sangat kenal dengan kakaknya pun merespon yang sama
dengan Ibu. Tak biasanya Bapak memutuskan sepihak tanpa meminta pertimbangan
keluarga besar. Apalagi untuk hal seperti ini. Menentukan masa depan keluarga
kakak.
Tidak ada yang salah dengan perjodohan ini, hanya saja
bila mengenal karakter kakak, maka perjodohan ini adalah lelucon paling jenaka di
dunia. Kakak dengan segala karakternya, adalah perempuan paling kekinian di
kepalaku. Aku kadang memanggilnya dengan sebutan ‘kakak gaul’. Mana mungkin ia
menerima konsep pernikahan ala Siti Nurbaya?
Ia juga perempuan paling keras untuk hal-hal yang
diinginkannya. Aku tahu, lebih cepatnya selalu mencari tahu, siapapun lelaki
yang pernah dekat dengannya, termasuk lelaki yang disiapkannya untuk
dipertemukan ke keluarga besar kami. Tapi mau dikata apa, ia lebih memilih berbakti
kepada orang tuanya.
Waktu itu masih awal Januari 2014. Keinginan Bapak,
pernikahan harus diselenggarakan tepat di minggu pertama Maret. Kakak hanya
memiliki waktu dua bulan lamanya untuk mempersiapkan segalanya, dari resepsi
sampai mental untuk menjadi ibu rumah tangga. Terlalu terburu-buru menurutku.
Kupikir, secara psikologis, itu adalah hal mustahil. Bagaimana
mungkin, kau hanya memiliki waktu dua bulan lamanya, untuk mengenal seorang
lelaki yang kelak kau pakai namanya seumur hidupmu, sebagai nyonyanya. Dia sebagai
tuan di rumah tanggamu. Sebagai kepala untuk jasad rumahmu kelak. Sebagai imanmu,
sebagai pemimpinmu, penuntunmu melalu bahtera luas bernama kehidupan berumah
tangga.
Aku tahu, berat untuk kakak memutuskan, dia hanya
memiliki waktu tidak lebih dari tiga hari lamanya untuk mengatakan setuju atau
tidak. Kudengar dari Ibu, saat itu kakak sambil berderai air mata, mencium
lutut Bapak. Katanya, segala yang terbaik bagi orang tuanya tentu adalah hal paling
baik untuk dirinya. Surga untukmu wahai kakakku.
“Apapun pilihanmu, kau harus pikirkan semua konsekuensinya. Setiap pilihan punya resikonya masing-masing. Kau hanya butuh keyakinan. Ituji dek,” tambahnya kemudian, setelah bercerita panjang lebar tanpa kuminta, mengapa ia memilih untuk menyetujui keinginan Bapak.
Ia benar-benar berada di persimpangan saat itu. Tapi, ia
adalah seorang anak paling berbakti yang kukenal. Jalannya jelas terbaca akan
menuju ke mana. Segala keraguan coba ditepisnya. “Kalau sulit memilih, perbaiki
nawaitu mu dan bismillah saja,” lanjutnya, yang kemudian hanya kubalas dengan
harapan agar jalan jodohku tak sepelik dirinya. Ia membalasnya dengan kalimat
pengikhlasan dan doa.
“Biarmi saya yang berkorban untuk kebahagiaannya Etta*. Sekarang Etta sakit, tidak ada yang tau, mungkin ini pengorbanan paling terakhirku. Semoga kau bisa memilih yang terbaik untuk jodohmu nanti. In sha Allah.”
Ah kakak, kau sedang bernasib sial
saja. Usia yang memasuki masa matang untuk melakukan pernkahan tepat saat Bapak
sakit. Dua kakak kita sebelumnya toh menikah dengan pasangan pilihan mereka
sendiri, tanpa campur tangan Bapak. Atau bisa saja kau lebih beruntung,
pengorbananmu yang paling berat untuk kebahagiaan Bapak. Demi cinta kepada Ibu Bapak,
engkaulah yang pahalanya paling tinggi.
Dari kakak, aku belajar banyak bahwa ketika berada di
persimpangan, kurasa kita harus tegas memilih jalan yang mana akan ditempuh,
termasuk ikhlas melepas jalan yang satu. Jalan yang tak perlu kita pikirkan
lagi, akan seperti apa kelak petualangannya. Jalan yang sudah semestinya
diikhlaskan.
Ya, akan ada petualangan yang harus dilepaskan, tapi jangan
pikirkan kehilangan. Karena jalan apapun yang ditempuh pasti menjanjikan
harapan. Bahwa ragu tak seharusnya membuat kita mengehentikan langkah. Memilih
harus dilakukan secepat dan secermat mungkin. Tak mungkin kita berdiam diri, di
ujung persimpangan atau malah berjalan kembali. Meski itu termasuk pilihan, tapi
kurasa tak seorangpun akan menyarankannya.
Seperti kakak saat itu, dalam tempo sesingkat-singkatnya
diputuskannya masa depannya. Memilih Ayah untuk anaknya kelak. Memilih jalan
penuntunnya menuju surga. Semoga saja itu pilihan tepat. Dan percayalah,
dibalik sebuah pilihan, akan selalu ada pelepasan yang mengikuti. Melepaslah
dan bersiaplah untuk bahagia di ujung jalan sana. Yang mana, engkau yang tahu.
*Etta
adalah sebutan kami untuk Bapak. Lazimnya digunakan dalam keluarga Bugis.
*Tepat
tanggal 3 Maret 2014, Bapak menikahkan kakak dengan lelaki yang telah beliau
pilihkan. Sebulan setelahnya, 4 April 2014 Bapak berpulang.
*mampir ke blognya Tami dengan meninggalkan jejak*
BalasHapusAh iya, masih ada percampuran kata "saya" dan "aku", kak. Saran sih, pakai salah satunya saja :)
Makasih kak, sungguh kak Khie sangat cermat, dari kemarin saya jaga-jagai memangmi ini, supaya nda ada keselip kata 'saya', ternyata ada lolos. Ini barusan saya harus baca sampai tiga kali baru ketemu yg dibaris ke 16.
HapusMakasih kak Khie
Entah mengapa saya sangat terharu setelah membaca ini. Langsung kepikiran sama papa di kampung. :(
BalasHapusSegeralah mudik, kakkk. Peluk papa ta. Hehehe
HapusTami :") bagustulisantaa..kirimkan alfatihahh untuk ayahta :")
BalasHapusMakasih kak nunu, inspirasinya tami di kelas. Makasih al fatihah nya.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNitip doa yang terbaik buat ayahanda Tami.
BalasHapusPilihlah sesuai dengan apa yang kamu sukai dan kamu inginkan,
Tetap istiqomah Tami
Amiin, makasih kak.
HapusSemoga kak, waktu itu Bapak mungkin berpikir waktunya tidak lama lagi, makanya harus cari sosok pengganti di rumah secepatnya.
Semoga Tami bisa istiqamah. Amiin :)
“Bukankah memilih untuk dipilihkan adalah sebuah pilihan?” hmmmmmm pilihan
BalasHapusHahaha, apapun jalannya yang penting memilihki.
HapusAtau mau saya pilihkan? Hehe
Dari kakak, aku belajar banyak bahwa ketika berada di persimpangan, kurasa kita harus tegas memilih jalan yang mana akan ditempuh, termasuk ikhlas melepas jalan yang satu. Jalan yang tak perlu kita pikirkan lagi, akan seperti apa kelak petualangannya. Jalan yang sudah semestinya diikhlaskan.
BalasHapusSuper skali kaka...
Hehe. Belajar dari kisahnya kakak ji, kak.
HapusYa, semoga kita semua bisa jadi pribadi yang ikhlas.